Bandung, Zona Musik - Guru telah mengalami banyak transformasi hingga saat ini. Dari seorang pertapa yang mengajarkan masalah kerohanian. Dia bisa saja seorang raja yang meninggalkan takhta kerajaan karena sudah tua. Murid muridnya turut mengerjakan sawah ladang untuk keperluan sehari hari. Pada masa Budha, guru adalah seorang biksu yang mengajarkan agama, membaca dan menulis huruf sanskerta di biara. Para murid ikut membantu mengerjakan ladang atau meminta sedekah dari masyarakat.
Setelah agama Islam masuk, orang belajar ke pesantren supaya dapat membaca Al-Quran dan melakukan Shalat dengan benar. Gurunya adalah ulama yang biasa dipanggil Kiai atau Tuan Guru. Para siswa yang disebut santri tinggal di pondok dan membantu guru bercocoktanam. Para pedagang Portugis dan Belanda mendirikan sekolah tempat anak-anak mempelajari agama Kristen dan membaca huruf Latin.
Gurunya adalah para pedagang dan penyebar agama. Belakangan Belanda memerlukan pegawai yang pandai menulis dan membaca untuk keperluan jajahannya. Dimulailah sekolah yang mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan agama. Inilah awal mula sistem pendidikan modern di Indonesia. Demikian dikatakan Dr. Harjoko Sangganagara, Ketua Bidang Pendidikan DPN ISRI dalam rilisnya, Senin (25/11/2019).
Harjoko mengatakan kini para guru memasuki era Revolusi Industri 4.0. Jepang bahkan sudah memasuki Revolusi Indonesia 5.0 sejak awal tahun ini. Banyak yang mengatakan bahwa peran institusi pendidikan dan para guru akan berakhir. Justru sebaliknya.
"Pada era digital seperti ini sentuhan pribadi para guru yang bersifat human touch sangat diperlukan. Suasana yang dinamakan academic athmosphere tidak bisa digantikan dengan teknologi. Yang terpenting guru harus menciptakan hubungan saling percaya dan membangkitkan rasa senang," kata Harjoko.
Lanjutnya, guru harus mampu membantu membukakan mata para siswa terhadap pengalaman berharga masa silam, mampu membebaskan keterikatan siswa pada masa kini dan mampu memandang jauh ke masa depan. Guru harus mampu menjadi panutan dan mampu mengembangkan murid-muridnya sesuai dengan kepribadian masing-masing.
"Di masa kini guru bukan yang paling tahu segalanya, ia harus berhubungan seperti teman sejawatnya. Guru perlu menghargai apa yang dikemukakan murid-muridnya, mendorong mereka berkreasi dan memberi rasa aman. Guru mengembangkan potensi siswa, menilai mereka tapi tidak mengadilinya ujarnya," ujarnya.
Dalam paradigma Pancasila, guru harus menumbuhkan budaya gotong royong dalam hidup sosial dalam lingkup lokal nasional maupun global dalam hal berketuhanan, berperikemanusiaan, berkebangsaan, bermusyawarah dan mewujudkan keadilan sosial, kata Ketua Bidang Pendidikan Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia ini seraya mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional. (Red)
Rilis: Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia
Posting Komentar